Edelweis… bunga putih kecil nan indah. Ia abadi,
tidak akan rusak oleh waktu. Ia kokoh dan tangguh, tetap bertahan walau badai
menghantamnya, keindahan dan kecantikannya tak
terkalahkan oleh bunga apa pun. Ah, rasanya tidak ada cukup kalimat indah yang
bisa kutulis untuk menggambarkan keindahan Sang Dewi.
“Fendi, semua perbekalan sudah siap kan?” tanya Deni
tiba-tiba. Menyadarkanku dari indahnya lamunan tentang Sang Dewi.
“All right, Sir! Semua siap!. Sleeping bag, alat-alat
survival, doom, …. Apa lagi ya?”
“Alat panjat: Carabiner, carmantel, webbing, figur of eight
juga sudah. Eh, iya! Logistiknya!
Mau makan apa kita semua kalau nggak bawa peresediaan logistik?”
Mau makan apa kita semua kalau nggak bawa peresediaan logistik?”
“Lho, kan di gunung banyak rumput? Itu juga bisa dimakan.”
jawabku bercanda.
“Fendi!”. Dan Deni pun memulai ceramah panjangnya. Tentang
keselamatan hidup di alam liar, tentang aturan-aturan dan pantangan yang tidak
boleh diabaikan, dan lain sebagainya.
“Hei, kalian berdua. Bagaimana persiapannya?” sapa Diza yang
baru datang bersama Dinar, Wahyu, dan Husna.
“Semua sudah beres, Pak Ketua!” sahutku.
“Bagus-bagus, kalian berdua memang hebat. Kalau kalian bisa
mempertahankan prestasi kalian, mungkin kalian bisa kujadikan sie perkap lagi
saat pendakian Gunung Lawu bulan depan, ha..ha..” canda Diza, berpura-pura
seolah-olah menjadi sie perkap adalah pekerjaan hebat.
“Enak saja. Selalu saja kami berdua! Ini namanya bukan sie
perkap, tapi pembantu umum!” omel Deni sambil mengepak barang-barang.
“Ha..ha.. Cuma bercanda. Tenang saja, lain kali giliran
Husna dan aku. Atau Wahyu dan Dinar.” kata Diza menenangkan Deni.
“Sindoro, aku datang! Edelweis, tunggulah aku!” seruku dalam
hati.
***
Tubuhku letih, kakiku pegal, dan tenggorokanku kering. Tapi
semua derita itu hilang begitu aku menatap keindahan alam dari ketinggian
Sindoro. Hijaunya dedaunan dan terjalnya bebatuan adalah suatu keindahan
tersendiri bagiku. Aku terus berjalan dalam diam. Menikmati angin semilir yang
berhembus lembut. Menikamti setiap dedauan hijau yang bergemerisik mengucapkan
salam. Menikmati merdu kicauan burung yang seolah menyanyikan lagu selamar
datang. Betapa agungnya Sang Pencipta!
“Indah ya?” tanya Diza. Rupanya ia sudah berhasil
menyusulku. Terakhir kulihat, ia berada jauh di belakangku.
“Ya. Gunung ini menyimpan keindahan yang menakjubkan. Senang
rasanya bisa berada di sini, di tengah alam dan pepohonan. Jauh dari kebisingan
kota.” Jawabku sambil terus menapaki jalan setapak berbatu.
“Mengapa kamu suka mendaki gunung? Bukankah, banyak orang
bilang kalau mendaki itu merepotkan? Cuma membuat lelah saja!”
“Mungkin sama dengan alasan mengapa kamu suka naik gunung.”
jawabku. “Orang-orang itu pasti belum pernah merasakan naik gunung sebelumnya.
Mereka belum pernah merasakan nikmatnya berjalan di atas bebatuan terjal ini,
mereka belum pernah merasakan nikmatnya mencapai puncak, nikmatnya mengamati
pemandangan indah di bawah sana dari tempat setinggi ini, dan lagi…,”
“Mereka pasti belum pernah merasakan nikmatnya makan mi
rebus atau kentang rebus yang dimasak dengan cara survival,” tambah Diza.
“Bercanda di depan hangatnya api ungun, kala dingin malam
mulai menggigit hingga ke tulang,”
“Atau tidur di dalam sleeping bag, membuat kita terlihat
seperti kepompong. Bersiap menjadi kupu-kupu untuk perjalanan esok pagi,”
“Benar. Nikmatnya tantangan, kebersamaan, dan perjuangan
menaklukan puncak. Semua orang yang pernah melakukan pendakian pasti mengetahui
rasanya, sungguh membuat ketagihan!” jawabku.
Kemudian aku dan Diza kembali terdiam. Menikmati perjalanan
dalam kesunyian. Hati-hati berpijak pada tanah yang gembur agak tidak
terpeleset. Merasakan peluh yang bercucuran walaupun udara segar berhembus.
***
Merahnya api ungun meliuk-liuk indah, bergoyang seirama
desiran angin malam yang dingin. Percikan api berhamburan, laksana
kunang-kunang yang terbakar membara. Aku dan lima orang temanku duduk melingkari
api ungun sambil menikamti teh hangat. Hening malam terpecah oleh suara canda
tawa kami.
Kami tertawa, menertawakan kekonyolan kami. Menertawakan
diri kami sendiri, kumpulan orang-orang aneh yang suka mendaki gunung. Kumpulan
pemuda yang suka bersusah payah di alam terbuka saat pemuda lain asyik dengan
internet dan game di rumah.
Tak lama kemudian bulan telah mencapai titik tertingginya,
malam telah larut. Dinar, Husna, dan Deni sudah bersiap tidur di doom khusus
perempuan. Sedang Wahyu telah terlelap, membeku bagai kepompong dalam sleeping
bagnya. Tinggal aku dan Diza, menikmati keheningan malam.
“Malam ini giliran kita berdua berjaga. Huh, sepertinya akan
membosankan.” keluh Diza yang duduk di sampingku. Kemudian ia membalikkan
sebuah bara kayu pada api ungun. Menjaga agar api unggun tetap menyala sehingga
kehangatan tetap menyelimuti tubuh kami.
“Ah, tidak juga. Lihat saja sekeliling kita, pasti kamu
tidak akan bosan.” jawabku menghiburnya. “Tapi hati-hati, jaga pikiranmu jangan
sampai kosong. Banyak bayangan putih berkelebat di sekitar sini.” kataku
berusaha menakut-nakuti Diza.
“Jangan bercanda. Nanti kalau ‘dia’ benar-benar datang
bagaimana?” kata Diza sambil merapatkan lengannya pada tubuhnya agar tidak
kedinginan.
“He..he.. Oh iya, kapan kita akan sampai di Padang
Edelweis?” tanyaku membuka percakapan baru.
“Mungkin besok kita akan melewatinya. Mau apa kamu? Jangan
coba-coba mengambil bunga itu, Edelweis sudah semakin langka.” kata Diza
memperingatiku.
“Siapa yang mau memetiknya. Aku kan seorang pecinta alam
sejati, mana mungkin aku menyakiti tumbuhan. Apa lagi Edelweiss.”
“Edelweiss sungguh mempesona. Dia adalah obat rasa lelah
bagi para pendaki setelah menaklukan medan yang terjal. Obat bagi petualang
yang haus akan tantangan. Sang pelepas dahaga. Aku tidak bisa membayangkan
seandainya bunga itu sampai punah. Gunung-gunung tinggi pasti akan kehilangan
sebagian daya pikatnya.”
“Jika aku mati nanti, aku ingin di kubur di padang Edelweis.
Setiap hari arwahku akan melayang-layang menikmati keindahan Edelweis. Sesekali
aku juga akan menakuti orang yang berusaha memetiknya.” kataku, mengungkapkan
impian terbesarku.
“Woy, woy. Keinginan macam apa itu? Sungguh konyol. Kamu mau
membuat semua orang repot? Tidak ada orang yang mau mengangkat jenazahmu dari
rumah sampai ketinggian gunung Sindoro ini, atau gunung-gunung lainnya. Lagi
pula, para pelayat pasti kecapekan mendaki tingginya gunung ini!”
“Ha..ha.., sepertinya itu hanya impian belaka.” kataku
sambil tertawa pahit.
***
Udara pagi yang sejuk menyegarkan kembali paru-paruku.
Kutarik nafas panjang dan kunikmati aliran udara segar yang masuk, membersihkan
setiap sel-sel dalam tubuhku dari polutan.
Aku tetap merasakan kesegaran walaupun sudah dua hari tidak
mandi. Para pendaki memang jarang mandi, bahkan mungkin hampir tidak mandi sama
sekali. Jarang ada sungai yang bisa ditemukan, untuk keperluan buang hajat pun
dilakukan di semak-semak.
Tidak lama kemudian kami telah selesai membereskan lokasi
kami berkemah semalam. Tidak ada satu pun sampah atau barang yang tertinggal.
Kami mengumpulkan sampah-sampah kami dalam kantong plastik agar tidak mengotori
alam.
“Oke. Kita berangkat lima belas menit lagi. Hari ini kita
akan menepuh medan yang lebih berat daripada kemarin. Aku harap kalian semua
lebih berhati-hati. Jangan jalan dua-dua, jalan sendiri-sendiri! Paham?” teriak
Diza memberikan komandonya.
“Paham, Pak Ketua!” seru kami semua.
***
Jalan setapak yang kami lalui semakin terjal. Kadang kami
harus memanjat dengan menggunakan tali karena curamnya medan. Dan tanah yang
kami pijak semakin labil. Aku berjalan dengan penuh semangat, walau kaki ini
terasa agak pegal setelah berhari-hari mendaki. Di depanku ada Diza dan di
belakangku ada Dinar yang berjalan tergopoh-gopoh karena barang bawaannya yang
berat.
Pepohonan tinggi di sepanjang jalan telah berganti menjadi
jurang dan tebing. Di samping kiriku, jurang dalam membentang, siap melenyapkan
siapa saja yang melangkah cukup ceroboh dan terjatuh. Di samping kiriku, tebing
tinggi menjulang, berusaha menyembunyikan keindahan yang berada di baliknya.
Kulihat Diza berjalan dengan tenang sambil memainkan tali
pengikat kompas, memutar-mutarnya seperti baling-baling. Tiba-tiba “Pluk!”.
Kompas itu terlempar dan hampir jatuh ke jurang, untung saja tali pengikatnya
mengenai sebuah akar dan tertahan. Diza membungkuk, berusaha mengambilnya,
berpijak pada tanah, dan mengulurkan tangannya ke bawah. Tapi sepertinya
pijakan kakinya kurang kuat, ia hampir terpeleset.
Aku berlari, berusaha menolong Diza. Aku tidak mau
kehilangan seorang teman hanya karena kompas yang terjatuh.
“Diza! Hati-hati!” seruku memperingatkan. Aku pun berlari
sekuat tenaga, tidak memperdulikan apapun kecuali keselamatan Diza.
“Fendi! Awas!!!” Jerit Diza. Kulihat wajahnya yang pucat
pasi.
Tapi terlambat. Aku merasakan tubuhku oleng dan melayang
beberapa saat. Aku merasakan aliran angin cepat di sekelilingku. Beberapa
cabang pohon menhantam tubuh dan wajahku. Kunikmati sensasi memusingkan ketika
pemandangan di sekelilingku berubah dengan cepat, secepat aku jatuh.
“Buk!”.
Kurasakan pandanganku berkunang-kunang dan kemudian mulai
menghitam. Gelap!
***
Hangatnya mentari pagi menerpa tubuhku. Aku pun terbangun.
Kulihat langit dengan kombinasi warna biru, jingga, dan putih membentang di
atasku. Burung-burung beterbangan dan hinggap di tubuhku. “Jinak sekali
burung-burung ini.” batinku. Kulihat hamparan Edelweis di sekelilingku. Rupanya
aku ada di Padang Edelweis! Padang Edelweis!
“Rupanya aku belum mati.” kataku riang.
Dari kejauhan, kulihat lima sosok pendaki yang berjalan
dengan gontai tanpa semangat. Terlihat tiga gadis yang menangis sesenggukan dan
dua lelaki yang menunduk sedih. Hei, itu mereka! Teman-temanku! Tapi mengapa
mereka tampak begitu sedih?
“Husna! Dinar! Deni! Diza! Wahyu!” teriakku, memanggil nama
mereka satu per satu. Tapi mereka tidak bergeming dan tetap berjalan. Mereka
tidak menyahut sama sekali.
“Mereka tidak akan bisa mendengarmu,” sahut sebuah suara.
“Mengapa?” tanyaku pada suara tak dikenal itu.
“Karena kamu sama sepertiku. Kita adalah para penjaga
Edelweis.”
“Penjaga Edelweis?”
“Ya. Aku dan kamu, juga para pendaki yang tewas di gunung
ini akan abadi sebagai rerumputan penjaga Edelweis.”
***
Edelweis adalah bunga abadi yang penghias gunung-gunung
tinggi. Walau roda waktu terus berputar, berusaha mengikis keindahan bunga,
tetapi Edelweis tetap abadi. Keindahannya adalah pelipur bagi petualang yang
haus, obat bagi para pendaki yang lelah. Keindahanan dan legendanya membuat
banyak orang ingin memilikinya.
Namun rumah Edelweis adalah di gunung-gunung itu. Biarlah ia
abadi ditempatnya, jangan memetiknya hanya untuk kebanggaan sesaat. Biarlah ia
bersemayam di puncak tertinggi dan mengobati dahaga para insan yang haus akan
tantangan. Biarkan ia abadi di sana, karena ia lah Sang Penghapus Dahaga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar