Sampaikanlah pada ibuku Aku pulang terlambat waktu Ku akan menaklukkan malam Dengan jalan pikiranku... Sampaikanlah pada bapakku Aku mencari jalan atas Semua keresahan-keresahan ini Kegelisahan manusia... Berbagi waktu dengan alam Kau akan tahu siapa dirimu yg sebenarnya Hakikat manusia...

Sabtu, 12 Januari 2013

Edelweis, bunga abadi yang kelabu

Edelweis…  bunga putih kecil nan indah. Ia abadi, tidak akan rusak oleh waktu. Ia kokoh dan tangguh, tetap bertahan walau badai menghantamnya, keindahan dan kecantikannya tak terkalahkan oleh bunga apa pun. Ah, rasanya tidak ada cukup kalimat indah yang bisa kutulis untuk menggambarkan keindahan Sang Dewi.

“Fendi, semua perbekalan sudah siap kan?” tanya Deni tiba-tiba. Menyadarkanku dari indahnya lamunan tentang Sang Dewi.
“All right, Sir! Semua siap!. Sleeping bag, alat-alat survival, doom, …. Apa lagi ya?”
“Alat panjat: Carabiner, carmantel, webbing, figur of eight juga sudah. Eh, iya! Logistiknya! 
 Mau makan apa kita semua kalau nggak bawa peresediaan logistik?”
“Lho, kan di gunung banyak rumput? Itu juga bisa dimakan.” jawabku bercanda.
“Fendi!”. Dan Deni pun memulai ceramah panjangnya. Tentang keselamatan hidup di alam liar, tentang aturan-aturan dan pantangan yang tidak boleh diabaikan, dan lain sebagainya.
“Hei, kalian berdua. Bagaimana persiapannya?” sapa Diza yang baru datang bersama Dinar, Wahyu, dan Husna.
“Semua sudah beres, Pak Ketua!” sahutku.
“Bagus-bagus, kalian berdua memang hebat. Kalau kalian bisa mempertahankan prestasi kalian, mungkin kalian bisa kujadikan sie perkap lagi saat pendakian Gunung Lawu bulan depan, ha..ha..” canda Diza, berpura-pura seolah-olah menjadi sie perkap adalah pekerjaan hebat.
“Enak saja. Selalu saja kami berdua! Ini namanya bukan sie perkap, tapi pembantu umum!” omel Deni sambil mengepak barang-barang.
“Ha..ha.. Cuma bercanda. Tenang saja, lain kali giliran Husna dan aku. Atau Wahyu dan Dinar.” kata Diza menenangkan Deni.
“Sindoro, aku datang! Edelweis, tunggulah aku!” seruku dalam hati.
***
Tubuhku letih, kakiku pegal, dan tenggorokanku kering. Tapi semua derita itu hilang begitu aku menatap keindahan alam dari ketinggian Sindoro. Hijaunya dedaunan dan terjalnya bebatuan adalah suatu keindahan tersendiri bagiku. Aku terus berjalan dalam diam. Menikmati angin semilir yang berhembus lembut. Menikamti setiap dedauan hijau yang bergemerisik mengucapkan salam. Menikmati merdu kicauan burung yang seolah menyanyikan lagu selamar datang. Betapa agungnya Sang Pencipta!
“Indah ya?” tanya Diza. Rupanya ia sudah berhasil menyusulku. Terakhir kulihat, ia berada jauh di belakangku.
“Ya. Gunung ini menyimpan keindahan yang menakjubkan. Senang rasanya bisa berada di sini, di tengah alam dan pepohonan. Jauh dari kebisingan kota.” Jawabku sambil terus menapaki jalan setapak berbatu.
“Mengapa kamu suka mendaki gunung? Bukankah, banyak orang bilang kalau mendaki itu merepotkan? Cuma membuat lelah saja!”
“Mungkin sama dengan alasan mengapa kamu suka naik gunung.” jawabku. “Orang-orang itu pasti belum pernah merasakan naik gunung sebelumnya. Mereka belum pernah merasakan nikmatnya berjalan di atas bebatuan terjal ini, mereka belum pernah merasakan nikmatnya mencapai puncak, nikmatnya mengamati pemandangan indah di bawah sana dari tempat setinggi ini, dan lagi…,”
“Mereka pasti belum pernah merasakan nikmatnya makan mi rebus atau kentang rebus yang dimasak dengan cara survival,” tambah Diza.
“Bercanda di depan hangatnya api ungun, kala dingin malam mulai menggigit hingga ke tulang,”
“Atau tidur di dalam sleeping bag, membuat kita terlihat seperti kepompong. Bersiap menjadi kupu-kupu untuk perjalanan esok pagi,”
“Benar. Nikmatnya tantangan, kebersamaan, dan perjuangan menaklukan puncak. Semua orang yang pernah melakukan pendakian pasti mengetahui rasanya, sungguh membuat ketagihan!” jawabku.
Kemudian aku dan Diza kembali terdiam. Menikmati perjalanan dalam kesunyian. Hati-hati berpijak pada tanah yang gembur agak tidak terpeleset. Merasakan peluh yang bercucuran walaupun udara segar berhembus.
***
Merahnya api ungun meliuk-liuk indah, bergoyang seirama desiran angin malam yang dingin. Percikan api berhamburan, laksana kunang-kunang yang terbakar membara. Aku dan lima orang temanku duduk melingkari api ungun sambil menikamti teh hangat. Hening malam terpecah oleh suara canda tawa kami.
Kami tertawa, menertawakan kekonyolan kami. Menertawakan diri kami sendiri, kumpulan orang-orang aneh yang suka mendaki gunung. Kumpulan pemuda yang suka bersusah payah di alam terbuka saat pemuda lain asyik dengan internet dan game di rumah.
Tak lama kemudian bulan telah mencapai titik tertingginya, malam telah larut. Dinar, Husna, dan Deni sudah bersiap tidur di doom khusus perempuan. Sedang Wahyu telah terlelap, membeku bagai kepompong dalam sleeping bagnya. Tinggal aku dan Diza, menikmati keheningan malam.
“Malam ini giliran kita berdua berjaga. Huh, sepertinya akan membosankan.” keluh Diza yang duduk di sampingku. Kemudian ia membalikkan sebuah bara kayu pada api ungun. Menjaga agar api unggun tetap menyala sehingga kehangatan tetap menyelimuti tubuh kami.
“Ah, tidak juga. Lihat saja sekeliling kita, pasti kamu tidak akan bosan.” jawabku menghiburnya. “Tapi hati-hati, jaga pikiranmu jangan sampai kosong. Banyak bayangan putih berkelebat di sekitar sini.” kataku berusaha menakut-nakuti Diza.
“Jangan bercanda. Nanti kalau ‘dia’ benar-benar datang bagaimana?” kata Diza sambil merapatkan lengannya pada tubuhnya agar tidak kedinginan.
“He..he.. Oh iya, kapan kita akan sampai di Padang Edelweis?” tanyaku membuka percakapan baru.
“Mungkin besok kita akan melewatinya. Mau apa kamu? Jangan coba-coba mengambil bunga itu, Edelweis sudah semakin langka.” kata Diza memperingatiku.
“Siapa yang mau memetiknya. Aku kan seorang pecinta alam sejati, mana mungkin aku menyakiti tumbuhan. Apa lagi Edelweiss.”
“Edelweiss sungguh mempesona. Dia adalah obat rasa lelah bagi para pendaki setelah menaklukan medan yang terjal. Obat bagi petualang yang haus akan tantangan. Sang pelepas dahaga. Aku tidak bisa membayangkan seandainya bunga itu sampai punah. Gunung-gunung tinggi pasti akan kehilangan sebagian daya pikatnya.”
“Jika aku mati nanti, aku ingin di kubur di padang Edelweis. Setiap hari arwahku akan melayang-layang menikmati keindahan Edelweis. Sesekali aku juga akan menakuti orang yang berusaha memetiknya.” kataku, mengungkapkan impian terbesarku.
“Woy, woy. Keinginan macam apa itu? Sungguh konyol. Kamu mau membuat semua orang repot? Tidak ada orang yang mau mengangkat jenazahmu dari rumah sampai ketinggian gunung Sindoro ini, atau gunung-gunung lainnya. Lagi pula, para pelayat pasti kecapekan mendaki tingginya gunung ini!”
“Ha..ha.., sepertinya itu hanya impian belaka.” kataku sambil tertawa pahit.
***
Udara pagi yang sejuk menyegarkan kembali paru-paruku. Kutarik nafas panjang dan kunikmati aliran udara segar yang masuk, membersihkan setiap sel-sel dalam tubuhku dari polutan.
Aku tetap merasakan kesegaran walaupun sudah dua hari tidak mandi. Para pendaki memang jarang mandi, bahkan mungkin hampir tidak mandi sama sekali. Jarang ada sungai yang bisa ditemukan, untuk keperluan buang hajat pun dilakukan di semak-semak.
Tidak lama kemudian kami telah selesai membereskan lokasi kami berkemah semalam. Tidak ada satu pun sampah atau barang yang tertinggal. Kami mengumpulkan sampah-sampah kami dalam kantong plastik agar tidak mengotori alam.
“Oke. Kita berangkat lima belas menit lagi. Hari ini kita akan menepuh medan yang lebih berat daripada kemarin. Aku harap kalian semua lebih berhati-hati. Jangan jalan dua-dua, jalan sendiri-sendiri! Paham?” teriak Diza memberikan komandonya.
“Paham, Pak Ketua!” seru kami semua.
***
Jalan setapak yang kami lalui semakin terjal. Kadang kami harus memanjat dengan menggunakan tali karena curamnya medan. Dan tanah yang kami pijak semakin labil. Aku berjalan dengan penuh semangat, walau kaki ini terasa agak pegal setelah berhari-hari mendaki. Di depanku ada Diza dan di belakangku ada Dinar yang berjalan tergopoh-gopoh karena barang bawaannya yang berat.
Pepohonan tinggi di sepanjang jalan telah berganti menjadi jurang dan tebing. Di samping kiriku, jurang dalam membentang, siap melenyapkan siapa saja yang melangkah cukup ceroboh dan terjatuh. Di samping kiriku, tebing tinggi menjulang, berusaha menyembunyikan keindahan yang berada di baliknya.
Kulihat Diza berjalan dengan tenang sambil memainkan tali pengikat kompas, memutar-mutarnya seperti baling-baling. Tiba-tiba “Pluk!”. Kompas itu terlempar dan hampir jatuh ke jurang, untung saja tali pengikatnya mengenai sebuah akar dan tertahan. Diza membungkuk, berusaha mengambilnya, berpijak pada tanah, dan mengulurkan tangannya ke bawah. Tapi sepertinya pijakan kakinya kurang kuat, ia hampir terpeleset.
Aku berlari, berusaha menolong Diza. Aku tidak mau kehilangan seorang teman hanya karena kompas yang terjatuh.
“Diza! Hati-hati!” seruku memperingatkan. Aku pun berlari sekuat tenaga, tidak memperdulikan apapun kecuali keselamatan Diza.
“Fendi! Awas!!!” Jerit Diza. Kulihat wajahnya yang pucat pasi.
Tapi terlambat. Aku merasakan tubuhku oleng dan melayang beberapa saat. Aku merasakan aliran angin cepat di sekelilingku. Beberapa cabang pohon menhantam tubuh dan wajahku. Kunikmati sensasi memusingkan ketika pemandangan di sekelilingku berubah dengan cepat, secepat aku jatuh.
“Buk!”.
Kurasakan pandanganku berkunang-kunang dan kemudian mulai menghitam. Gelap!

***
Hangatnya mentari pagi menerpa tubuhku. Aku pun terbangun. Kulihat langit dengan kombinasi warna biru, jingga, dan putih membentang di atasku. Burung-burung beterbangan dan hinggap di tubuhku. “Jinak sekali burung-burung ini.” batinku. Kulihat hamparan Edelweis di sekelilingku. Rupanya aku ada di Padang Edelweis! Padang Edelweis!
“Rupanya aku belum mati.” kataku riang.
Dari kejauhan, kulihat lima sosok pendaki yang berjalan dengan gontai tanpa semangat. Terlihat tiga gadis yang menangis sesenggukan dan dua lelaki yang menunduk sedih. Hei, itu mereka! Teman-temanku! Tapi mengapa mereka tampak begitu sedih?
“Husna! Dinar! Deni! Diza! Wahyu!” teriakku, memanggil nama mereka satu per satu. Tapi mereka tidak bergeming dan tetap berjalan. Mereka tidak menyahut sama sekali.
“Mereka tidak akan bisa mendengarmu,” sahut sebuah suara.
“Mengapa?” tanyaku pada suara tak dikenal itu.
“Karena kamu sama sepertiku. Kita adalah para penjaga Edelweis.”
“Penjaga Edelweis?”
“Ya. Aku dan kamu, juga para pendaki yang tewas di gunung ini akan abadi sebagai rerumputan penjaga Edelweis.”
***
Edelweis adalah bunga abadi yang penghias gunung-gunung tinggi. Walau roda waktu terus berputar, berusaha mengikis keindahan bunga, tetapi Edelweis tetap abadi. Keindahannya adalah pelipur bagi petualang yang haus, obat bagi para pendaki yang lelah. Keindahanan dan legendanya membuat banyak orang ingin memilikinya.
Namun rumah Edelweis adalah di gunung-gunung itu. Biarlah ia abadi ditempatnya, jangan memetiknya hanya untuk kebanggaan sesaat. Biarlah ia bersemayam di puncak tertinggi dan mengobati dahaga para insan yang haus akan tantangan. Biarkan ia abadi di sana, karena ia lah Sang Penghapus Dahaga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar